Penanggulangan sejumlah penyakit tropis seperti malaria, filariasis atau kaki gajah, dan kusta atau lepra tidak berjalan secara efektif. Kondisi ini terjadi lantaran penanganan penyakit tropis tidak didukung pengembangan riset yang memadai serta terintegrasi antarlembaga.
Peneliti dari Tropical Disease Diagnostic Center (TDDC) Universitas Airlangga Surabaya, drh CA Nidom menyatakan, penyakit tropis jadi faktor dominan dalam percaturan penyakit-penyakit di dunia. Apalagi kini tidak ada lagi batas wilayah, sehingga orang-orang dari negara sub tropis pun bisa terkena penyakit yang banyak ditemukan di negara tropis karena perpindahan penduduk.
Penyakit tropis seperti malaria, kusta dan filariasis atau kaki gajah di Indonesia jumlah penderitanya semakin meningkat dalam lima tahun terakhir. Selain itu, penyebarannya pun hampir menjangkau seluruh wilayah Tanah Air. (Kompas, 11/8)
Endemis beragam penyakit
Sebagai negara tropis, Indonesia merupakan wilayah endemis beragam penyakit tropis. ”Indonesia seharusnya lebih pintar dalam penanganan penyakit tropis. Sayangnya, pengembangan riset penyakit tropis masih belum mendapat porsi memadai,” kata Nidom.
Padahal, aspek riset penting dalam pengendalian penyakit antara lain, mengetahui variabilitas virus, dampak pemakaian insektisida terhadap kekebalan nyamuk pembawa penyakit seperti malaria. Perubahan biologi dari nyamuk bisa menjadi rangsangan terjadinya mutasi kuman atau virus sehingga lebih ganas dan resisten terhadap obat.
” Tanpa studi epidemiologi, penanganan masalah penyakit tropis di suatu daerah ibarat menembak dalam gelap. Kita tidak mengetahui efektivitas pengobatan, sejauh mana mutasi virus, sehingga pemberantasan penyakit akan sulit dilakukan hingga tuntas,” ujarnya menegaskan.
Peneliti senior dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, Senin (11/8), di Jakarta, menjelaskan, lemahnya kegiatan riset mengakibatkan mayoritas penyakit tropis sulit diatasi termasuk malaria dan demam berdarah dengue (DBD). Masalah yang dihadapi adalah terjadinya mutasi virus dan meningkatnya resistensi kuman penyakit terhadap beberapa jenis obat.
Penelitian juga diperlukan untuk menguji sejauh mana efektivitas suatu obat yang akan digunakan di Indonesia. Selama ini penggunaan obat dari luar negeri hanya ”dikopi” dan diterapkan di Indonesia tanpa lebih dulu dilakukan riset ilmiah mengenai efektivitas obat itu dan efek sampingnya.
Belum aplikatif
Sementara itu, Deputi Bidang Pengembangan Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Menristek Prof Amin Soebandrio menilai, kemajuan riset bidang penyakit tropis di Indonesia sudah cukup pesat. Saat ini ada sejumlah lembaga penelitian yang memfokuskan diri pada riset penyakit tropis di Jakarta maupun di lembaga perguruan tinggi di sejumlah kota di Tanah Air.
Sejumlah riset yang dilakukan sudah sampai pada tingkat seluler dan molekuler yang nantinya diterapkan ke tingkat aplikasi klinis yaitu pengembangan deteksi virus dan bakteri, serta pembuatan vaksin. ”Tetapi memang hasil penelitian yang ada belum aplikatif, masih perlu diuji pada hewan coba, baru kemudian diuji klinis pada manusia dengan skala luas,” ujarnya.
Lembaga Eijkman sendiri secara aktif mempelajari sejumlah penyakit tropis seperti malaria, demam berdarah dengue dan hepatitis. Sebagian riset itu berkolaborasi dengan lembaga riset asing seperti Universitas Oxford. ”Kegiatan riset dilakukan di Indonesia, dan dipublikasikan secara internasional atas nama staf dari Lembaga Eijkman. Jadi, kedudukan kami sejajar,” ujarnya.
Hasil riset yang dilakukan antara lain berhasil menemukan dasar molekul resistensi kuman terhadap obat, mutasi gen pada plasmodium valsivarum dan hubungannya dengan resistensi parasit itu terhadap obat anti malaria di sejumlah daerah endemis seperti Papua.
Dana minim
Sejauh ini, Nidom menilai dukungan pemerintah masih sangat minim terhadap pengembangan riset penyakit tropis baik dari segi pendanaan maupun fasilitas riset. Di TDDC Unair, misalnya, mayoritas dana operasional penelitian penyakit tropis diperoleh dari kerja sama dengan lembaga penelitian asing di antaranya Universitas Kobe Jepang.
Amin Soebandrio mengakui, dukungan pemerintah dalam pendanaan riset masih minim. Saat ini Kementerian Ristek mengalokasikan anggaran tahun 2008 sebesar Rp 110 miliar untuk enam bidang penelitian, termasuk kesehatan. Idealnya, tiap bidang mendapat anggaran sekitar Rp 100 miliar. Padahal, untuk mengembangkan suatu prototipe vaksin satu jenis penyakit, misalnya, butuh dana berkisar Rp 50 miliar hingga Rp 100 miliar.
Hambatan lain adalah, aktivitas penelitian penyakit tropis berjalan sendiri-sendiri tanpa ada jejaring yang kuat. Hal ini menyebabkan daya jangkau penelitian rendah, dana penelitian yang diperoleh terbatas, aktivitas penelitian yang dikerjakan juga kadang tumpang tindih.
Peneliti dari Tropical Disease Diagnostic Center (TDDC) Universitas Airlangga Surabaya, drh CA Nidom menyatakan, penyakit tropis jadi faktor dominan dalam percaturan penyakit-penyakit di dunia. Apalagi kini tidak ada lagi batas wilayah, sehingga orang-orang dari negara sub tropis pun bisa terkena penyakit yang banyak ditemukan di negara tropis karena perpindahan penduduk.
Penyakit tropis seperti malaria, kusta dan filariasis atau kaki gajah di Indonesia jumlah penderitanya semakin meningkat dalam lima tahun terakhir. Selain itu, penyebarannya pun hampir menjangkau seluruh wilayah Tanah Air. (Kompas, 11/8)
Endemis beragam penyakit
Sebagai negara tropis, Indonesia merupakan wilayah endemis beragam penyakit tropis. ”Indonesia seharusnya lebih pintar dalam penanganan penyakit tropis. Sayangnya, pengembangan riset penyakit tropis masih belum mendapat porsi memadai,” kata Nidom.
Padahal, aspek riset penting dalam pengendalian penyakit antara lain, mengetahui variabilitas virus, dampak pemakaian insektisida terhadap kekebalan nyamuk pembawa penyakit seperti malaria. Perubahan biologi dari nyamuk bisa menjadi rangsangan terjadinya mutasi kuman atau virus sehingga lebih ganas dan resisten terhadap obat.
” Tanpa studi epidemiologi, penanganan masalah penyakit tropis di suatu daerah ibarat menembak dalam gelap. Kita tidak mengetahui efektivitas pengobatan, sejauh mana mutasi virus, sehingga pemberantasan penyakit akan sulit dilakukan hingga tuntas,” ujarnya menegaskan.
Peneliti senior dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, Senin (11/8), di Jakarta, menjelaskan, lemahnya kegiatan riset mengakibatkan mayoritas penyakit tropis sulit diatasi termasuk malaria dan demam berdarah dengue (DBD). Masalah yang dihadapi adalah terjadinya mutasi virus dan meningkatnya resistensi kuman penyakit terhadap beberapa jenis obat.
Penelitian juga diperlukan untuk menguji sejauh mana efektivitas suatu obat yang akan digunakan di Indonesia. Selama ini penggunaan obat dari luar negeri hanya ”dikopi” dan diterapkan di Indonesia tanpa lebih dulu dilakukan riset ilmiah mengenai efektivitas obat itu dan efek sampingnya.
Belum aplikatif
Sementara itu, Deputi Bidang Pengembangan Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Menristek Prof Amin Soebandrio menilai, kemajuan riset bidang penyakit tropis di Indonesia sudah cukup pesat. Saat ini ada sejumlah lembaga penelitian yang memfokuskan diri pada riset penyakit tropis di Jakarta maupun di lembaga perguruan tinggi di sejumlah kota di Tanah Air.
Sejumlah riset yang dilakukan sudah sampai pada tingkat seluler dan molekuler yang nantinya diterapkan ke tingkat aplikasi klinis yaitu pengembangan deteksi virus dan bakteri, serta pembuatan vaksin. ”Tetapi memang hasil penelitian yang ada belum aplikatif, masih perlu diuji pada hewan coba, baru kemudian diuji klinis pada manusia dengan skala luas,” ujarnya.
Lembaga Eijkman sendiri secara aktif mempelajari sejumlah penyakit tropis seperti malaria, demam berdarah dengue dan hepatitis. Sebagian riset itu berkolaborasi dengan lembaga riset asing seperti Universitas Oxford. ”Kegiatan riset dilakukan di Indonesia, dan dipublikasikan secara internasional atas nama staf dari Lembaga Eijkman. Jadi, kedudukan kami sejajar,” ujarnya.
Hasil riset yang dilakukan antara lain berhasil menemukan dasar molekul resistensi kuman terhadap obat, mutasi gen pada plasmodium valsivarum dan hubungannya dengan resistensi parasit itu terhadap obat anti malaria di sejumlah daerah endemis seperti Papua.
Dana minim
Sejauh ini, Nidom menilai dukungan pemerintah masih sangat minim terhadap pengembangan riset penyakit tropis baik dari segi pendanaan maupun fasilitas riset. Di TDDC Unair, misalnya, mayoritas dana operasional penelitian penyakit tropis diperoleh dari kerja sama dengan lembaga penelitian asing di antaranya Universitas Kobe Jepang.
Amin Soebandrio mengakui, dukungan pemerintah dalam pendanaan riset masih minim. Saat ini Kementerian Ristek mengalokasikan anggaran tahun 2008 sebesar Rp 110 miliar untuk enam bidang penelitian, termasuk kesehatan. Idealnya, tiap bidang mendapat anggaran sekitar Rp 100 miliar. Padahal, untuk mengembangkan suatu prototipe vaksin satu jenis penyakit, misalnya, butuh dana berkisar Rp 50 miliar hingga Rp 100 miliar.
Hambatan lain adalah, aktivitas penelitian penyakit tropis berjalan sendiri-sendiri tanpa ada jejaring yang kuat. Hal ini menyebabkan daya jangkau penelitian rendah, dana penelitian yang diperoleh terbatas, aktivitas penelitian yang dikerjakan juga kadang tumpang tindih.
Anda sedang membaca artikel tentang
Riset Kurang Mendukung
Dengan url
http://dangerousdiseaseelephantiasis.blogspot.com/2012/02/riset-kurang-mendukung.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Riset Kurang Mendukung
namun jangan lupa untuk meletakkan link
sebagai sumbernya
0 komentar:
Post a Comment