Copyright By www.dangerousdiseaseelephantiasis.blogspot.com. Powered by Blogger.

Popular Posts Today

Solusi Pemberian Obat harus Disempurnakan

Written By Luthfie fadhillah on Monday, February 27, 2012 | 3:18 AM

 Departemen kesehatan tidak akan menghentikan pemberian obat pencegahan filariasis atau kaki gajah. Namun Departemen Kesehatan akan menyempurnakan metode pemberian obatnya.

Demikian dikatakan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih seusai membuka Konferensi Nasional Promosi Kesehatan Ke-5 di Bandung, Jawa Barat, Minggu (22/11) malam.

Endang mengatakan, berdasarkan hasil investigasi Komite Ahli Pengobatan Filariasis Indonesia (KAPFI) dan Departemen Kesehatan, pengobatan massal yang dilakukan di Kabupaten Bandung tidak menyalahi aturan. Obat sudah diperiksa di laboratorium dan hasilnya tidak kedaluwarsa atau tercemar.  Adapun obat yang diberikan adalah ethylcarbamazine citrate (DEC), albendazol (obat cacing) dan parasetamol (obat penurun panas).

Sebelumnya penerima obat pencegahan filariasis di Kabupaten Bandung dirawat dan meninggal dunia setelah mendapatkan pengobatan massal, 10 November lalu.  Namun, Departemen Kesehatan membantah penyebab sakit dan meninggal akibat langsung pemberian obat pencegahan filariasis.

KAPFI juga menyatakan, kematian delapan warga Bandung bukan karena minum obat filariasis.  Dari delapan kasus kematian, tiga orang meninggal ternyata tidak mingum obat filariasis yang dibagikan saat pengobatan massal.  Adapun lima kematian terjadi karena penyakit yang telah diderita sebelumnya.

Untuk langkah ke depan, Endang mengatakan akan menyusun langkah lanjutan bersama tim yang terdiri atas pakar filariasis.  Salah satunya adalah mempertajam metode pengobatan, seperti  memberikan pertanyaan awal tentang kondisi kesehatan kepada warga sebelum melakukan pemberian obat.

"Akan sulit apabila dilakukan pemeriksaan kesehatan satu per satu," kata Endang.

Penyakit filariasis merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria (Brugia malayi, Brugia timori, dan Wucheria brancofti). Perantara penularannya adalah semua jenis nyamuk.

Hambat eliminasi
Secara terpisah, Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Departemen Kesehatan Rita Kusriati mengatakan, penghentian pengobatan massal dikhawatirkan akan menghambat eliminasi penyakit kaki gajah.  Oleh karena itu, pemerintah akan melanjutkan pengobatan massal, tetapi pelaksanaannya dievaluasi.

Menurut Rita, di Indonesia penanganan filariasis dengan model pengobatan massal berjalan sejak tahun 2002 yang pencanangan untuk pertamakalinya di lima kota kabupaten/kotamadya.  Di Indonesia ada 316 kabupaten/kota yang telah terpetakan secara epidemologis sebagai daerah endemik filariasis sampai tahun 2008.

Penghentian pengobatan massal, menurut Rita, akan berkonsentrasi besar karena dengan rata-rata prevalensi nasional filariasis 19 persen dan jumlah penduduk sekitar 220 juta, ada sekitar 40 juta penduduk akan terkena filariasis.
3:18 AM | 0 komentar | Read More

Masalah Uang Hambat Pengobatan Kaki Gajah

Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Serang, Banten, saat ini merasa kesulitan untuk melakukan pengobatan massal penularan penyakit kaki gajah atau filariasis, karena tidak memiliki dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
    
"Jika tidak dilakukan pengobatan massal dipastikan  penularan penyakit kaki gajah mengancam warga lainya," kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Serang, Asep Misbah, Minggu.

Asep mengatakan, pihaknya hingga kini belum berbuat banyak untuk melakukan pengambilan sidik darah jari (SDJ) juga pengobatan massal di daerah endemik penularan penyakit kaki gajah karena membutuhkan biaya cukup besar.

Pengambilan SDJ maupun pengobatan massal harus dilakukan di enam kecamatan di Kota Serang, setelah ditemukan dua warga positif terserang penyakit kaki gajah. 

"Penyakit kaki gajah merupakan jenis penyakit menular yang bisa mengakibatkan penderita cacat permanen pada salah satu bagian anggota tubuhnya," katanya.

Menurut dia, pengambilan sidik darah jari pada malam hari juga pengobatan massal salah satu upaya untuk mencegah penularan penyakit tersebut.

Sebab, apabila tidak dilakukan pencegahan kemungkinan warga Kota Serang bisa terserang, karena penularannya melalui gigitan berbagai jenis nyamuk.

Oleh karena itu, pemerintah Kota Serang harus mengalokasikan dana untuk pengambilan SDJ serta pengobatan massal, terutama di daerah kasus penularan di wilayah Puskesmas Singadari dan Taktakan.

Selain itu, pihaknya meminta kepada warga agar menjaga kebersihan lingkungan sekitar rumah dan halaman, sehingga tidak berkembangbiaknya populasi nyamuk.    

Dia menyebutkan, hingga saat ini sumber penularan penyakit kaki gajah ditularkan melalui gigitan nyamuk dari si penderita yang mengalami pembengkakan permanen pada bagian kaki atau tangan.

Penularan penyakit kaki gajah disebabkan infeksi cacing filaria, yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening (limfa) yang mengakibatkan gejala akut dan kronis. Cacing ini secara klinis menimbulkan peradangan di kelenjar dan saluran getah bening, terutama pada daerah pangkal paha dan ketiak.
    
"Hingga saat ini penderita kaki gajah tidak menimbulkan kematian," ujarnya. Ditempat terpisah, keluarga penderita kaki gajah di Kecamatan Taktakan, Kota Serang,  mengaku dirinya hanya pasrah karena tidak memiliki dana untuk pengobatan.

"Sebetulnya penderita bisa berobat, namun untuk makan juga susah," kata salah satu keluarga penderita yang enggan disebutkan namanya.

Sementara itu, sejumlah warga lainya di Kota Serang menyatakan pihaknya mendesak Pemkot segera mengalokasikan dana untuk pengobatan massal untuk mencegah penularan serta penyebaran penyakit kaki gajah.
   
Alasannya, semua yang namanya jenis penyakit menular harus diberantas dan dicegah dengan cara pengobatan massal itu. "Kami khawatir penyakit ini meluas dan meyerang warga lianya," ujar Solihin (40) warga Cipocok, Kota Serang.
3:16 AM | 0 komentar | Read More

Riset Kurang Mendukung

Penanggulangan sejumlah penyakit tropis seperti malaria, filariasis atau kaki gajah, dan kusta atau lepra tidak berjalan secara efektif. Kondisi ini terjadi lantaran penanganan penyakit tropis tidak didukung pengembangan riset yang memadai serta terintegrasi antarlembaga.

Peneliti dari Tropical Disease Diagnostic Center (TDDC) Universitas Airlangga Surabaya, drh CA Nidom menyatakan, penyakit tropis jadi faktor dominan dalam percaturan penyakit-penyakit di dunia. Apalagi kini tidak ada lagi batas wilayah, sehingga orang-orang dari negara sub tropis pun bisa terkena penyakit yang banyak ditemukan di negara tropis karena perpindahan penduduk.

Penyakit tropis seperti malaria, kusta dan filariasis atau kaki gajah di Indonesia jumlah penderitanya semakin meningkat dalam lima tahun terakhir. Selain itu, penyebarannya pun hampir menjangkau seluruh wilayah Tanah Air. (Kompas, 11/8)

Endemis beragam penyakit

Sebagai negara tropis, Indonesia merupakan wilayah endemis beragam penyakit tropis. ”Indonesia seharusnya lebih pintar dalam penanganan penyakit tropis. Sayangnya, pengembangan riset penyakit tropis masih belum mendapat porsi memadai,” kata Nidom.

Padahal, aspek riset penting dalam pengendalian penyakit antara lain, mengetahui variabilitas virus, dampak pemakaian insektisida terhadap kekebalan nyamuk pembawa penyakit seperti malaria. Perubahan biologi dari nyamuk bisa menjadi rangsangan terjadinya mutasi kuman atau virus sehingga lebih ganas dan resisten terhadap obat.

” Tanpa studi epidemiologi, penanganan masalah penyakit tropis di suatu daerah ibarat menembak dalam gelap. Kita tidak mengetahui efektivitas pengobatan, sejauh mana mutasi virus, sehingga pemberantasan penyakit akan sulit dilakukan hingga tuntas,” ujarnya menegaskan.

Peneliti senior dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, Senin (11/8), di Jakarta, menjelaskan, lemahnya kegiatan riset mengakibatkan mayoritas penyakit tropis sulit diatasi termasuk malaria dan demam berdarah dengue (DBD). Masalah yang dihadapi adalah terjadinya mutasi virus dan meningkatnya resistensi kuman penyakit terhadap beberapa jenis obat.

Penelitian juga diperlukan untuk menguji sejauh mana efektivitas suatu obat yang akan digunakan di Indonesia. Selama ini penggunaan obat dari luar negeri hanya ”dikopi” dan diterapkan di Indonesia tanpa lebih dulu dilakukan riset ilmiah mengenai efektivitas obat itu dan efek sampingnya.

Belum aplikatif

Sementara itu, Deputi Bidang Pengembangan Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Menristek Prof Amin Soebandrio menilai, kemajuan riset bidang penyakit tropis di Indonesia sudah cukup pesat. Saat ini ada sejumlah lembaga penelitian yang memfokuskan diri pada riset penyakit tropis di Jakarta maupun di lembaga perguruan tinggi di sejumlah kota di Tanah Air.

Sejumlah riset yang dilakukan sudah sampai pada tingkat seluler dan molekuler yang nantinya diterapkan ke tingkat aplikasi klinis yaitu pengembangan deteksi virus dan bakteri, serta pembuatan vaksin. ”Tetapi memang hasil penelitian yang ada belum aplikatif, masih perlu diuji pada hewan coba, baru kemudian diuji klinis pada manusia dengan skala luas,” ujarnya.

Lembaga Eijkman sendiri secara aktif mempelajari sejumlah penyakit tropis seperti malaria, demam berdarah dengue dan hepatitis. Sebagian riset itu berkolaborasi dengan lembaga riset asing seperti Universitas Oxford. ”Kegiatan riset dilakukan di Indonesia, dan dipublikasikan secara internasional atas nama staf dari Lembaga Eijkman. Jadi, kedudukan kami sejajar,” ujarnya.

Hasil riset yang dilakukan antara lain berhasil menemukan dasar molekul resistensi kuman terhadap obat, mutasi gen pada plasmodium valsivarum dan hubungannya dengan resistensi parasit itu terhadap obat anti malaria di sejumlah daerah endemis seperti Papua.

Dana minim

Sejauh ini, Nidom menilai dukungan pemerintah masih sangat minim terhadap pengembangan riset penyakit tropis baik dari segi pendanaan maupun fasilitas riset. Di TDDC Unair, misalnya, mayoritas dana operasional penelitian penyakit tropis diperoleh dari kerja sama dengan lembaga penelitian asing di antaranya Universitas Kobe Jepang.

Amin Soebandrio mengakui, dukungan pemerintah dalam pendanaan riset masih minim. Saat ini Kementerian Ristek mengalokasikan anggaran tahun 2008 sebesar Rp 110 miliar untuk enam bidang penelitian, termasuk kesehatan. Idealnya, tiap bidang mendapat anggaran sekitar Rp 100 miliar. Padahal, untuk mengembangkan suatu prototipe vaksin satu jenis penyakit, misalnya, butuh dana berkisar Rp 50 miliar hingga Rp 100 miliar.

Hambatan lain adalah, aktivitas penelitian penyakit tropis berjalan sendiri-sendiri tanpa ada jejaring yang kuat. Hal ini menyebabkan daya jangkau penelitian rendah, dana penelitian yang diperoleh terbatas, aktivitas penelitian yang dikerjakan juga kadang tumpang tindih.
3:16 AM | 0 komentar | Read More
techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger